Logo

PETI Potolo Gagalkan Kebijakan Gubernur Untuk WPR serta Adanya Dugaan Pengrusakan HPL dan Taman Nasional

INFOSULAWESI.com BOLMONG - Adanya keinginan dan harapan warga masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow yang berprofesi sebagai penambang emas tradisional agar Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Mayjen TNI Purn Yulius Selvanus Komaling (YSK) dapat mendirikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) khususnya di Pegunungan Potolo Desa Tanoyan Selatan, bakal kandas.

Sinyal akan gagalnya perjuangan Gubernur YSK terkait usulan WPR di Bolmong lantaran Pegunungan Potolo yang saat ini masuk daftar usulan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHL) Republik Indonesia, untuk dikeluarkannya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH di status Hutan Pengelolaan (HPL), saat ini sedang dibabat dan dirusak ekosistemnya oleh Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang mengerahkan sejumlah alat berat excavator oleh oknum pengusaha dari Luar Daerah.

Demikian hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas ESDM Provinsi Sulut, Fransiskus Maindoka, melalui Kepala Seksi Capdin Wilayah III Bolmong Raya, Kadri Damongayo, ia mengatakan jika lokasi Potolo masuk usulan Gubernur YSK untuk dijadikan WPR.

"Dokumennya sudah di kementerian dan sedang dalam kajian untuk penerbitan IPPKH sehingga bisa menjadi WPR yang nantinya akan dikeluarkan IPR oleh Gubernur YSK. Tapi sekarang ada aktivitas Pertambangan tidak berizin sesuai laporan media. Nah, kami saat mendatangi lokasi itu bersama KPH Wilayah 1 Bolmong Raya untuk melihat secara dekat tapi dicegat oleh beberapa orang yang diduga adalah oknum yang belum tau identitasnya. Hal ini sudah kami laporkan ke Kepala Dinas Provinsi dan pastinya sudah dilaporkan juga ke Pak Gubernur," terang Kadri Damongayo.

Senada disampaikan James Runtuwene selaku Kepala KPH Wilayah 1 Bolmong Raya. Bahkan dirinya menjelaskan jika lokasi Pegunungan Potolo masuk wilayah HPL dan Wilayah Taman Nasional.

"Memang duluHPT namun sejak Tahun 2014 sesuai SK Menteri Kehutanan sudah menjadi kawasan HPL. Kalau terkait adanya kerusakan di lokasi Potolo itu masuk kawasan Taman Nasional dan itu kewenangan dari UPT Kementerian yang kantornya di Mongkonai. Sementara untuk kerusakan di kawasan HPL atau Hutan Lindung itu masuk tupoksi kami Dinas Kehutanan Provinsi," terang James Runtuwene.

Dirinya juga menambahkan, kerusakan alam atau hutan baik di Taman Nasional ataupun di Kawasan HPL maka pelakunya akan dikenakan sanksi denda PSDA.

"Ya, sanksinya berupa pembayaran ke negara bukan pajak. Terkait aktivitas Pertambangan dilokasi itu kegiatannya di lahan yang lama, dan mereka sudah masuk merambat ke wilayah bawah sehingga ada beberapa pohon yang mereka tebang di kawasan HPL yakni tanaman tumbuh alami. Kalau kerusakan di Taman Nasional bukan kewenangan kami," ujar James Runtuwene.

Dirinya juga menegaskan saat melakukan pemeriksaan dilapangan dan terjadi penghadangan sudah dilaporkan ke Kepala Dinas yang selanjutnya akan dilaporkan ke Gubernur Sulut.

Ia juga berharap agar usulan WPR dapat diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHL) Republik Indonesia.

"Usulan untuk WPR sudah sejak lama semenjak Gubernur yang lama, dan sekarang kembali di usulkan oleh Pak Gubernur Yulius Selvanus Komaling, semoga harapan masyarakat ini dapat diterima oleh Kementerian," harapnya juga.

Salah satu Aktivis pemerhati Lingkungan, Parindo Potabuga, berharap Gubenur Sulut untuk terus berkomitmen dan tetap bersama rakyat dalam memperjuangkan nasip para penambang tradisional.

"Niat Pak Gubernur YSK sangat baik untuk mendirikan WPR sehingga dapat meningkatkan Kesejahteraan dan perekonomian masyarakat khususnya para penambang tradisional. Namun dengan masuknya oknum cukung yang mengerakkan sejumlah alat berat untuk merusak lingkungan dan kawasan hutan, sementara lokasinya sedang diperjuangkan Gubernur YSK, maka ini merupakan pembangkangan dan penghianatan serta bentuk perlawanan atas kebijakan pemerintah. Terlebih kegiatan itu adalah kegiatan PETI yang jelas melanggar UU Minerba. Pak Gubenur harus mengeluarkan oknum Cukong itu dari lokasi tersebut, apalagi terinformasi adanya dugaan keterlibatan Oknum Aparat maka ini tidak dibenarkan, bahkan terinformasi juga perambakan hutan sudah masuk di wilayah HPL dan Kawasan Taman Nasional, maka kami meminta juga Dirjen Gakumdu untuk turun melakukan penindakan," ungkapnya.

Sementara, pengrusakan sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional sesuai UU No.5 Tahun 1990, dapat dikenakan sanksi Pidana Penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.

Demikian UU No.32 Tahun 2009, pada Pasal 98 Ayat (1) mengancam hukuman penjara antara 3 hingga 10 tahun serta denda antara Rp3 miliar hingga Rp10 miliar jika kerusakan dilakukan secara sengaja.

Demikian ancaman hukum bagi pengrusakan Kawasan Hutan dengan status Hak Pengelolaan (HPL) dapat menimbulkan jeratan hukum, baik pidana maupun perdata.

Jeratan Hukum Pidana
1. Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41/1999 tentang Kehutanan: Setiap orang yang melakukan kegiatan penebangan, pengangkutan, atau perdagangan kayu di dalam kawasan hutan tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.

2. Pasal 98 ayat (1) UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Setiap orang yang melakukan kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar.

IKLAN_1

Simak berita dan artikel lainnya di:
Ikuti info terbaru di:
WhatsApp Channel Infosulawesi