Logo

INFO PLUS: Analisa Berita Nasionai, Sabtu, 2 Agustus 2025

Analisa Berita Nasionai, Sabtu, 2 Agustus 2025

Pembaca, edisi akhir pekan ini merupakan review atas peristiwa yang menjadi perhatian publik pada bulan Juli 2025.
---

KERACUNAN LAGI, LAGI-LAGI KERACUNAN MBG

Pada Selasa, 22 Juli lalu, sekitar 130 siswa-siswi SMP Negeri 8 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), bertumbangan. Ada yang mengeluh pusing berat, muntah-muntah, perut melilit, dan sebagainya. Mereka harus dilarikan ke rumah sakit. Pada hari yang sama, 13 murid SD Negeri Tenau, Kota Kupang, juga mengalami derita serupa. Mereka semua mengalami gejala tersebut setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG), yang disediakan pemerintah. Kesimpulan medis: mereka keracunan.

Badan Gizi Nasional (BGN), yang diberi tanggung jawab oleh Presiden Prabowo untuk mengurus MBG di seantero negeri, minta maaf dan berjanji menanggung biaya perawatan para korban itu. BGN berjanji pula akan memberi sanksi pihak penyedia MBG yakni Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang dalam pemahaman awam adalah dapur umum. "Kami akan evaluasi kasus itu, supaya tidak terulang lagi". Begitu sikap BGN.

Kabar tentang kejadian keracunan MBG dan tanggapan BGN yang semacam itu, mungkin bakal menjadi kabar rutin yang akan menjadi bukan kabar lagi, karena sudah biasa terjadi. Maklum, keracunan MBG tiada henti terjadi. Menurut Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, ada 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terkait dengan MBG di 10 provinsi sejak 6 Januari hingga 12 Mei 2025. Angka itu dipaparkan Taruna dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada 15 Mei lalu. Dirata-rata, berarti setiap bulan terjadi 3 kasus KLB keracunan.

Dalam hitungan kuantitatif, sebagaimana ditulis BBC Indonesia 25 Juni 2025, sudah 1.376 anak sekolah yang mengalami keracunan setelah menyantap MBG. Angka ini tentu saja tidak termasuk korban di NTT tersebut. Berdasarkan hasil penyelidikan Dinas Kesehatan di berbagai kota tempat kejadian, menu MBG yang menimbulkan masalah itu terkontaminasi bakteri antara lain Salmonella, E. coli, dan jamur Candida tropicalis.

Dokter sekaligus ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen, dikutip BBC Indonesia, menilai angka korban sampai 1.000 lebih itu tidak bisa ditoleransi lagi, sebab menyangkut nyawa manusia. "Korban satu saja, itu tidak dibenarkan, apalagi seribu... ini bukan cuma alarm, tapi ini waktunya untuk Anda (Presiden Prabowo) menghentikan MBG", kata dokter Tan.

Namun, mengingat MBG sudah digadang-gadang Presiden Prabowo sebagai program unggulan untuk mencetak generasi emas, dia pun berpendapat jumlah anak yang keracunan cuma sebatas angka. Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 5 Mei 2025, Prabowo bilang begini: "Yang rawat inap hanya 5 orang. Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya nggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta (penerima MBG), kalau tidak salah adalah 0,005%. Berarti keberhasilannya adalah 99,99%". Maka, program yang dianggarkan tahun ini sebesar Rp 170 triliun itu akan jalan terus. Bahkan, kata Menko Bidang Pangan Zulkifli, perlu ada percepatan dalam jumlah penerima manfaat dari 3,4 juta sekarang ini, menuju target 82,9 juta orang.

Pendapat atau kritik supaya program itu tidak dijalankan secara terburu-buru dan masif, tapi dilakukan dengan sistem percontohan atau pilot project terlebih dahulu, sudah disuarakan banyak pihak. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan sudah memaparkan hasil telaahnya dengan kesimpulan bahwa program MBG perlu dihentikan. Alasan ICW, program itu melanggar Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 132/PMK 05/2021 yang mengatur bantuan pemerintah, dan banyak ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya.

Semua kritikan dan saran itu bak angin lalu bagi pemerintah. Itu Presiden punya mau, para pembantunya wajib mewujudkan. Mereka pun terpaku pada target angka penerima manfaat MBG yang kudu dicapai. Bahwa dalam mengejar target itu terjadi insiden keracunan, pemerintah sudah punya jawaban standar: BGN minta maaf, janji akan melakukan evaluasi, dan biaya pengobatan ditanggung pemerintah.

Bahwa dalam peristiwa keracunan itu terjadi trauma pada siswa dan orang tuanya, ada kerugian materiil di luar pengobatan, dan sebagainya, itu tidak menjadi bagian dari program MBG. Terserah keluarga korban saja, kan sudah dikasih makan gratis.

CARI CARA GAMPANG HAPUS PRAKTIK CURANG

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli 2025 mengalami inflasi 0,30% (mtm). Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, komoditas penyumbang inflasi terbesar adalah beras dengan andil 0,06%.

Rata-rata harga beras di penggilingan naik 2,71% secara bulanan (mom) dan naik 4,14% secara tahunan (yoy). Sementara di tingkat grosir dan eceran sama-sama mengalami kenaikan. Untuk tingkat grosir, naik 1,59% (mtm) dan 5,19% (yoy). Sedangkan di tingkat eceran, inflasi harga beras mencapai 1,35% (mtm) dan 3,81% (yoy).

Berdasarkan panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), hingga akhir Juli harga semua jenis beras tetap melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal Mentan Andi Amran Sulaiman mengeklaim, produksi dan stok berlimpah. Ia pernah menuduh bahwa itu permainan pedagang. Belakangan ditemukan 212 merek beras kemasan ternyata oplosan dan tak sesuai takaran. Potensi kerugian masyarakat hampir Rp 100 triliun per tahun.

Gara-gara praktik culas itu, pemerintah berniat menghapus klasifikasi beras medium dan premium. Tak ada jenis premium maupun medium. “Beras ya beras. Tidak ada lagi premium dan medium,” kata Menko Pangan Zulkifli Hasan. Sebagai gantinya, klasifikasi disederhanakan menjadi beras umum dan beras khusus seperti pandan wangi, basmati, dan japonica.

Apakah penyederhanaan itu bisa menjadi solusi karut marut perberasan?

Ketidaksetujuan disampaikan pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori. Ia mengingatkan, kebijakan tersebut berpotensi menekan penggilingan padi kecil yang jumlahnya sangat dominan. Dari total 165 ribu unit penggilingan padi, 95% di antaranya penggilingan kecil. Sisanya adalah penggilingan menengah (4,32%) dan besar (0,62%).

Jika hanya ditetapkan satu standar mutu beras umum tanpa mempertimbangkan kapasitas penggilingan kecil, penggilingan skala kecil bakal tersingkir dari pasar. Jika mutu beras umum ditetapkan terlalu tinggi, penggilingan kecil tak akan mampu memenuhinya. Hal ini bisa menimbulkan distorsi baru, termasuk potensi praktik manipulasi kualitas dan pasar gelap beras kelas rendah yang tak diakomodasi kebijakan.

Apa yang disampaikan Khudori masuk akal. Masalah tidak akan selesai dengan menghapus klasifikasi premium dan medium. Banyak aspek yang harus dipikirkan. Dari sisi kualitas, bagaimana standar beras “umum” yang akan dijual nantinya? Apakah semua penggilingan padi yang ada sekarang mampu memenuhi standar tersebut? Jangan sampai kebijakan ini membuat penggilingan kecil gulung tikar, lalu pasar hanya dikuasai oleh 5% penggilingan menengah dan besar, atau malah 0,62% penggilingan besar.

Lalu soal harga. Jika ditentukan di tengah-tengah harga antara jenis premium dan medium, bagaimana dengan rakyat miskin yang biasa mengonsumsi beras medium karena itulah yang sesuai kantong? Jangan sampai masyarakat menengah dan miskin harus mengurangi belanja non-beras hanya untuk memenuhi kebutuhan makan. Bantuan sosial, termasuk bantuan pangan, mungkin bisa mengurangi beban mereka. Tapi sampai kapan APBN bisa menanggungnya? Itu pun hanya untuk 18 juta keluarga.

Penyederhanaan klasifikasi beras mengesankan, pemerintah cari gampangnya untuk meminimalkan praktik curang produsen yang merugikan masyarakat.

Apakah dengan menghapus klasifikasi beras akan serta merta menutup kemungkinan produsen berbuat curang? Selama tidak ada sistem pengawasan yang efektif, praktik culas itu tetap akan terjadi. Selama tak ada sanksi yang serius, bukan sanksi “setengah hati” seperti selama ini, jangan harap kecurangan hilang. Kalau sanksi hanya denda sekian miliar, sementara keuntungan yang dihitung berdasarkan potensi kerugian masyarakat hampir Rp 100 triliun, pengusaha lebih memiliki denda … dan praktik culas tetap “oke gas”. (*)

TRENDING MEDSOS
Sampai hari ini, warganet di X terpantau masih ramai menyoroti amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong yang resmi berlaku Jumat, 1 Agustus 2025. Keduanya sudah resmi bebas Jumat malam, kemarin. Walaupun Menkumham Supratman menegaskan Presiden Prabowo tak mencampuri proses hukum dan kebijakan tersebut diambil demi persatuan politik jelang 80 tahun RI dan target Indonesia Emas 2045, banyak warganet yang beranggapan kebijakan yang diambil Prabowo tersebut bersifat politis untuk kepentingan Pilpres 2029.

IKLAN_1

Simak berita dan artikel lainnya di:
Ikuti info terbaru di:
WhatsApp Channel Infosulawesi